Wednesday, May 03, 2006

Kepentingan Diri

Dengarkanlah kiranya seruanku, ya Allah, perhatikanlah doaku. (Mazmur 61:2)

Suatu sore, ketika asyik bermain Leony yang tahun ini genap enam tahun nyeletuk, “Sandra, boleh nggak aku pinjam boneka kamu yang merah itu?”
“Jangan! Ini punya aku, ini punya aku, ini juga punya aku!” jawab Sandra yang baru berusia 3 tahun sambil memegang semua mainannya.
“Pinjam sebentar saja deh. Aku mainnya di sini juga,” Leonny mencoba merayu. “Ah, nggak mau. Nanti dimarahin ibu. Boneka ini ‘kan hadiah ulang tahunku,” jawab Sandra lalu bangkit berdiri dan pindah ke pojok ruangan. “Sandra begitu deh. Leonny cuma pinjam sebentar aja kok,” Clara yang berusia lima mencoba meyakinkan.
“Nggak boleh!” jawab Sandra setengah berteriak.
“Udah, kalo begitu. Yuk, Clara, kita kita main masak-masakan di rumah aku saja deh. Biar Sandra sendirian saja di sini,” ujar Leonny.
Tahu hendak ditinggalkan teman-temannya Sandra pun bangkit berdiri dan berkata dengan wajah cemberut. “Leonny, kamu main (boneka) yang ini. Clara yang ini.” Maka ketiganya kembali bermain bersama-sama.
Cuplikan kisah anak-anak di atas memperlihatkan betapa sejak usia dini manusia memiliki kecenderungan utama: Mementingkan diri sendiri. Dalam kondisi tertentu kita ingin agar yang dapat kita kuasai, sedapat mungkin berada dalam kekuasaan kita. Yang lain sedapat mungkin tidak mengambil bagian dalam wilayah kekuasaan kita.
Tapi, pada situasi yang lain kita mudah memberi peluang kepada pihak lain untuk ikut memakai salah satu wilayah kekuasaan kita. Tapi, tanpa kita sadari pemberian itu selalu dengan pertimbangan kepentingan diri sendiri. “Anda boleh menguasai yang itu, tapi tidak yang ini.” Selain itu, motivasi pemberian peluang kepada orang lain itu selalu dengan motivasi agar kita diakui atau diterima oleh orang lain. Lagi-lagi, yang menjadi pokok pertimbangan ialah kepentingan diri sendiri.
Suasana seperti ini amat kentara ketika mengamati apa yang dilakukan para elit politik kita belakangan ini. Pada situasi yang satu mereka berjuang untuk menguasai ‘kursi’ sebanyak mungkin. Tapi, di situasi lain, agar bisa merebut hati orang, mereka dengan gampang memberi peluang agar orang lain ikut menguasai ‘kursi’ . Tapi, tentu saja dengan syarat, bahwa Anda boleh mengambil kursi yang itu, sedangkan yang ini untuk saya. Jadi, tak dapat dipungkiri kepentingan diri memang menjadi kecenderungan utama kita.
Tuhan Yesus memang tidak menghendaki agar kita tetap terkungkung dalam ‘tempurung’ kepentingan diri sendiri. Ia mengajarkan agar kita bersedia berbagi dengan orang lain atas dasar kasih. Bahkan, Ia memberikan contoh radikal, memberikan diriNya untuk memanggul salib hingga wafat di salib. Atas cara ini Ia membuka jalan bagi kita menuju kebangkitan atau hidup abadi. Memang, berbagi atas dasar kasih merupakan jalan utama untuk meraih hidup yang sempurna dan abadi.

Business Wisdom:
Kita memerlukan ruang untuk kebersamaan kita. (Kahlil Gibran)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home