Wednesday, May 03, 2006

Untuk Apa Aku Bekerja?

Serahkanlah kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu. ( 1Petrus 5:7)

Pernahkah Anda mengajukan pertanyaan seperti di atas kepada diri sendiri? Jika belum pernah, berhentilah sejenak mendaraskan renungan sederhana ini. Cobalah menjawab pertanyaan itu. (Ambil waktu hening sekitar lima menit)
Sekarang mari kita lanjutkan. Apakah Anda bekerja untuk mendapat sejumlah uang agar bisa bertahan hidup? Ya, kebanyakan kita memang seperti itu. Kita bekerja supaya tetap survive. Dan, bila hasil yang diperoleh berlebih, kita menabungnya untuk masa depan dan pendidikan anak-anak.
Tampaknya tujuan kita bekerja sedehana saja. Tapi, dalam masyarakat yang kapitalistis seperti sekarang, tujuan kerja menjadi amat kompleks. Disadari atau tidak, hampir semua kita bekerja tidak hanya supaya bisa bertahan hidup, tapi agar bisa meraup sebanyak mungkin uang. Uang jadi ‘dewa’ pekerjaan. Soalnya dengan uang kita bisa ikut menikmati buah-buah kapitalisme yang menyata dalam aneka jenis barang dan jasa yang bersifat konsumtif. Yaitu barang dan jasa yang menjadi cerminan prestise, gengsi, dan gaya hidup.
Ya, sekarang hampir semua orang bekerja agar tidak ketinggalan menikmati menu global sepeti KFC, McDonald, Pizza Hut, dan macam-macam lagi. Banyak yang bekerja agar bisa berbelanja barang-barang kebutuhan harian dan pakaian bermerk di berbagai supermarket. Atau supaya bisa memiliki barang-barang elektronik yang modis.
Pergeseran ‘makna’ dan tujuan kerja mempengaruhi cara pandang kita tentang manusia dan dunia, bahkan Tuhan. Kita cenderung mengukur dan memberi penghargaan terhadap sesama berdasarkan pekerjaannya. Kita menaruh respek lebih kepada orang yang bekerja di kantor, daripada yang bekerja di ladang, sawah atau sebagai buruh pabrik. Kita juga cenderung melihat sesama dalam satu perusahaan sebagai kompetitor, bukan lagi sebagai co-worker.
Dunia tak lagi dipandang sebagai ibu pertiwi, tapi lebih sebagai penyedia sumerdaya alam, yang mesti dikeruk habis-habisan. Kita tak lagi peduli dengan kelestarian lingkungan. Limbah dan sampah ditabur begitu sehingga lingkungan menjadi amat tercemar. Begitu pula dengan pandangan kita tentang Tuhan. Tuhan lebih cenderung dipandang sebagai sumber kemakmuran dan kesejahteraan dunia, bukan sebagai sumber keselamatan yang utuh dan sempurna, jiwa dan raga.

Business Wisdom:
Membangun diri sendiri lebih penting daripada memperoleh uang. ( Rober T. Kiyosaki)

Cerai

Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah! (Mateus 5:31)

Paul Glick dalam Journal of Social Issues edisi tahun 1979 meramalkan bahwa mulai tahun 1990-an, akan ada 30 persen anak di seluruh di dunia dengan usia kurang dari 18 tahun merupakan anak dari pasangan suami istri (pasutri) yang bercerai. Raman Glick tampaknya mulai menjadi kenyataan. Buktinya, di Indonesia belakangan ini makin banyak saja berita mengenai perceraian pasutri selebriti di TV, majalah dan tabloid entertain. Tapi, dalam kenyataan ‘virus’ kawin dan cerai tidak menyerang pasutri selebriti saja. Diam-diam, pasutri non selebs, tak terkecuali dari kalangan eksekutif bisnis, terkena virus sosial itu. Bahkan, tidak sedikit dari kalangan umat Katolik Roma yang mengharamkan perceraian suami-istri yang menikah menurut tata cara Gereja.
Mengapa gelombang perceraian begitu hebat? Jika kita menyimak berita di media massa, pada umumnya pasangan yang bercerai mengaku kalau perceraian itu terpaksa dilakukan karena keduanya merasa tidak cocok lagi. Ada perceraian yang disebabkan oleh pihak ketiga. Pokoknya, ada banyak sekali alasan. Tapi, kalau dicermati secara mendalam, akar persoalannya adalah cinta yang tidak tulus dan pengorbanan yang lemah. Dengan kata lain, karena kedua pihak ingat diri. Egois.
Kalau perceraian terjadi, yang menjadi korban utama tentu saja anak-anak. Tidak sedikit anak-anak korban perceraian yang menjadi frustrasi dan kehilangan orientasi hidup. Bahkan, banyak yang melarikan diri ke dunia kelam, seperti narkoba, pelacuran atau tindak kriminal lainnya.
Nah, bagaimanakah seandainya ada dari kaum kerabat kita yang gagal mempertahankan bahtera perkawinannya? Apa yang mesti kita lakukan untuk meringankan beban anak-anak mereka? Halaman Khusus Anak Muda Harian Kompas (25/4) memberikan sejumlah tips bagi anak-anak yang orangtuanya bercerai. Dari tips tersebut, dapat dirumuskan beberapa pedoman yang dapat dijadikan pegangan untuk membantu anak-anak korban perceraian. Pertama, kita perlu meyakinkan anak-anak itu bahwa perceraian orangtua bukanlah akhir dari segalanya. Perjuangan hidup dapat saja diteruskan, dan kebahagian serta sukses masih mungkin untuk diraih. Kedua, meski orangtua bercerai, hubungan darah orangtua-anak tidak pernah dapat diputuskan. Jadi, tak perlu ayah atau ibu dibenci. Relasi dengan keduanya mesti terus dipelihara, meski dalam pola dan suasana yang berbeda dari dengan hubungan anak dan orangtua dalam keuarga yang utuh. Ketiga, yakinkan anak-anak itu untuk tak perlu merasa malu dan kecil hati. Mereka mesti pula diyakinkan bahwa menjadi anak-anak yang ortunya bercerai bukanlah suatu kutukan atau aib. Tetaplah pada komitmen untuk menjalani hidup secara normal.

Business Wisdom:
Kekuarangan uang dan harta bukan maalah, tapi kekuarangan cinta itu masalah gawat. (Joanne Alexandra)

The Power of Small

Apa yang kuperhatikan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan. (Ulangan 6:6)

Biasanya, saya bangun sekitar 05.00 pagi, sebelum suara burung piaraan dari rumah tetangga berkicau. Setelah menyampaikan rasa syukur atas tidur, saya segera meneguk segelas air putih. Lalu saya menuju teras untuk membuat gerakan menarik napas panjang, menikmati segarnya hawa.
Biasanya, di saat itu tukang Kompas datang, dan saya tak kuasa menahan diri untuk mengamati headline hari itu. Dua halaman yang tak pernah kulewatkan ialah halaman Internasional dan Opini. Dengan membaca secara sekilas tiga halaman favorit itu, saya merasa memiliki bekal untuk perjalanan hari itu. Karena saya mempunyai gambaran –meski amat sekilas- tentang situasi terakhir –lokal maupun global- dan tentang opini yang berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Yang menyebalkan jika saya terjaga karena kicauan burung. Itu berarti hari sudah menjelang pukul 05.30. Kesenjangannya memang hanya kecil saja, 30 menit, dari kebiasaan bangunku. Tapi, pengaruhnya amat luar biasa. Saya jadi tak sempat menarik napas dan membaca halaman-halaman favorit Kompas. Maka, saya pun berangkat kerja dengan suatu perasaan kosong, karena tak punya gambaran tentang situasi terbaru dunia dan nasional. Dan, boleh percaya atau tidak, ternyata perasaan kosong itu biasanya membuat saya kurang berkonsentrasi dalam melakukan seluruh kegiatan sepanjang hari. Itu berarti grafik kinerjaku hari itu melorot.
Hal kecil seperti di atas, bertahun-tahun terabaikan dari perhatianku. Aku merasakannya, tapi aku tak pernah menaruh perhatian pada sebab dan efeknya. Belakangan, setelah rutin menulis renungan untuk KARUNIA, aku mulai menjadi lebih peka. Mataku mulai terbuka dan melihat, betapa suatu hal kecil dalam detik-detik keseharianku dapat menimbulkan pengaruh besar terhadap seluruh kegiatan harianku. Rasanya tepat sekali bila saya menyebutnya sebagai the power of the small.
Saya percaya, Anda pun punya titik kecil dalam keseharian Anda. Cobalah menaruh perhatian pada titik-titik kecil itu. Sebab, bukan mustahil, titik-titik itu menentukan keseluruhan kinerjamu sepanjang hari. Ya, bukan tak mungkin, setiap kali mengambil waktu hening merupakan, keluar dari rutinitas karya misiNya, (selain berdoa kepada BapaNya) Yesus juga menaruh perhatian pada titik-titik kecil kehidupanNya. Kitab Suci juga bersaksi bahwa banyak hal (mukjizat) besar yang dikerjakan Yesus justru bertolak dari hal-hal yang kecil saja seperti air minum, ikan, bunga, debu tanah, menulis di tanah dan banyak lagi. Silahkan baca sendiri dalam Kitab Suci!

Business Wisdom:
Ada sejumlah orang yang hidup dalam alam mimpi, dan ada sejumlah orang lagi yang berhadapan dengan alam nyata dan ada juga yang berpindah dari dunia mimpi ke dunia nyata. ( Douglas Everett)

Kepentingan Diri

Dengarkanlah kiranya seruanku, ya Allah, perhatikanlah doaku. (Mazmur 61:2)

Suatu sore, ketika asyik bermain Leony yang tahun ini genap enam tahun nyeletuk, “Sandra, boleh nggak aku pinjam boneka kamu yang merah itu?”
“Jangan! Ini punya aku, ini punya aku, ini juga punya aku!” jawab Sandra yang baru berusia 3 tahun sambil memegang semua mainannya.
“Pinjam sebentar saja deh. Aku mainnya di sini juga,” Leonny mencoba merayu. “Ah, nggak mau. Nanti dimarahin ibu. Boneka ini ‘kan hadiah ulang tahunku,” jawab Sandra lalu bangkit berdiri dan pindah ke pojok ruangan. “Sandra begitu deh. Leonny cuma pinjam sebentar aja kok,” Clara yang berusia lima mencoba meyakinkan.
“Nggak boleh!” jawab Sandra setengah berteriak.
“Udah, kalo begitu. Yuk, Clara, kita kita main masak-masakan di rumah aku saja deh. Biar Sandra sendirian saja di sini,” ujar Leonny.
Tahu hendak ditinggalkan teman-temannya Sandra pun bangkit berdiri dan berkata dengan wajah cemberut. “Leonny, kamu main (boneka) yang ini. Clara yang ini.” Maka ketiganya kembali bermain bersama-sama.
Cuplikan kisah anak-anak di atas memperlihatkan betapa sejak usia dini manusia memiliki kecenderungan utama: Mementingkan diri sendiri. Dalam kondisi tertentu kita ingin agar yang dapat kita kuasai, sedapat mungkin berada dalam kekuasaan kita. Yang lain sedapat mungkin tidak mengambil bagian dalam wilayah kekuasaan kita.
Tapi, pada situasi yang lain kita mudah memberi peluang kepada pihak lain untuk ikut memakai salah satu wilayah kekuasaan kita. Tapi, tanpa kita sadari pemberian itu selalu dengan pertimbangan kepentingan diri sendiri. “Anda boleh menguasai yang itu, tapi tidak yang ini.” Selain itu, motivasi pemberian peluang kepada orang lain itu selalu dengan motivasi agar kita diakui atau diterima oleh orang lain. Lagi-lagi, yang menjadi pokok pertimbangan ialah kepentingan diri sendiri.
Suasana seperti ini amat kentara ketika mengamati apa yang dilakukan para elit politik kita belakangan ini. Pada situasi yang satu mereka berjuang untuk menguasai ‘kursi’ sebanyak mungkin. Tapi, di situasi lain, agar bisa merebut hati orang, mereka dengan gampang memberi peluang agar orang lain ikut menguasai ‘kursi’ . Tapi, tentu saja dengan syarat, bahwa Anda boleh mengambil kursi yang itu, sedangkan yang ini untuk saya. Jadi, tak dapat dipungkiri kepentingan diri memang menjadi kecenderungan utama kita.
Tuhan Yesus memang tidak menghendaki agar kita tetap terkungkung dalam ‘tempurung’ kepentingan diri sendiri. Ia mengajarkan agar kita bersedia berbagi dengan orang lain atas dasar kasih. Bahkan, Ia memberikan contoh radikal, memberikan diriNya untuk memanggul salib hingga wafat di salib. Atas cara ini Ia membuka jalan bagi kita menuju kebangkitan atau hidup abadi. Memang, berbagi atas dasar kasih merupakan jalan utama untuk meraih hidup yang sempurna dan abadi.

Business Wisdom:
Kita memerlukan ruang untuk kebersamaan kita. (Kahlil Gibran)

Work Smarter Not Harder

Semut,bangsa yang tidak kuat, tetapi menyediakan makanannya di musim panas. (Amsal 30:25)

Anda selalu bekerja over time? Lalu, berapa jumlah tabungan Anda? Nah, jika Anda selalu bekerja over time tapi jumlah tabungan Anda masih tipis, itu pertanda Anda tidak bekerja secara cerdas.
Anda melakoni dua atau tiga pekerjaan sekaligus? Nah, kalau Anda melakoni dua atau tiga pekerjaan, tapi tetap saja kerepotan membayar biaya telepon atau listrik, itu isyarat lain bahwa Anda belum bekerja secara cerdas.
Ya, dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar petuah dari orang yang lebih tua, “bekerjalah keras agar kamu bisa hidup sejahtera.’ Dalam dunia sekarang, petuah seperti itu terasa kurang relevan lagi. Mengapa? Karena tak ada jaminan bahwa orang yang bekerja keras bisa meraup banyak duit dan hidup berkecukupan. Bahkan, tak sedikit yang membanting tulang siang dan malam tapi tetap saja kelabakan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup yang pokok. Petuah tua itu seakan tak lagi relevan dengan kemajuan jaman sekarang.
Jadi, kita perlu berpikir sekali lagi tentang petuah orang tua-tua, ‘bekerjalah yang keras supaya dapat meraih hidup yang makmur dan sejahtera.’ Di samping itu, kita mesti mulai belajar untuk menghayati ungkapan berikut: ‘work smarter not harder’.
Untuk memulai cara kerja yang cerdas, beberapa tips berikut barangkali bisa membantu.
Pertama, yang paling penting ialah belajarlah untuk mengelola waktu dan uang secara baik dan benar. Orang yang bekerja secara cerdas tahu mengelola waktu dan uangnya. Banyak orang sukses di dunia, bersaksi bahwa kesuksesan hidupnya justru ditentukan oleh kebijaksanannya dalam manajemen waktu dan uang.
Kedua, carilah pekerjaan atau bisnis yang memungkinkan uang bekerja untuk Anda, bukan sebaliknya. Salah satu bisnis yang bisa dilirik ialah bisnis berbasis networking. Dalam bisnis yang demikian, Anda tak butuh banyak modal. Anda juga tak perlu bekerja seharian untuk itu. Soalnya, jaringan yang akan mengembangkan bisnis Anda.
Kitab Suci tak secara khusus membahas soal cara kerja cerdas. Namun, kalau kita memperhatikan pola hidup dan karya Tuhan Yesus, tampak cukup jelas bahwa Ia berkarya secara cerdas. Ia bijaksana mengelola waktu dan ‘modal sosial’ yang dimilikinya. Selain itu, Ia pun amat piawai memanfaatkan jaringan. Karya misiNya justru menyebar dari jaringan mulut ke mulut. Itu sebabnya dengan hanya tiga tahun ‘berinvestasi’, ‘bisnis’ Tuhan Yesus bisa eksis selama 2000 tahun, bahkan hingga kekal.

Business Wisdom:
Kejeniusan adalah kemampuan untuk mengubah sesuatu yang rumit menjadi sederhana dan mudah. (C.W. Ceran)

’Addicted’

Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan – Nya. (Ibrani 12 : 5b)

Beberapa waktu yang lalu saya pernah mengalami yang namanya addict. Addict yang saya alami ini bukan addict yang ditimbulkan oleh narkoba atau zat-zat yang mengerikan itu tapi kecanduan chating. Yup chating bisa bikin orang keblinger memang benar-benar saya rasakan. Saya banyak menghabiskan waktu di depan komputer untuk chating, mengobrol dengan banyak orang dari berbagai penjuru dunia sampai lupa waktu. Sungguh menyenangkan dan tanpa saya sadari saya pun sudah terbuai dengan dunia maya. Saya bisa di depan komputer lebih dari 12 jam sehari. Entah berapa uang dan waktu yang sudah saya habiskan waktu itu untuk memenuhi kesenangan saya. Biasanya saya melakukannya mulai sore hari sampai pagi. Padahal pagi hari adalah jadwal saya mengikuti kuliah. Namun karena saya mengantuk akhirnya saya seringkali tidak masuk kuliah. Kalau boleh diibaratkan saya adalah kelelawar, yang menjadikan siang untuk tidur dan malam untuk melanglang buana dengan komputer.
Tidak saya pungkiri memang banyak pengetahuan yang saya dapat dari dunia perchatingan. Berbagai teknik dalam chating pun saya kuasai. Sebaliknya tidak sedikit juga akhirnya kewajiban saya terbangkalai. Sampai pada akhirnya ada sahabat saya yang merasa kasihan kepada saya, tanpa bosan dia selalu mengingatkan dan mengajak saya tiap hari untuk kuliah. Setiap hari dia bangunkan saya. Awalnya saya marah tapi lama-kelamaan akhirnya sayapun terbiasa dan mau juga.
Lambat laun saya pun menjalani hidup normal kembali, malam saya tidur dan siang saya beraktivitas. Saya sangat berucap terima kasih kepada sahabat saya. Saya merasakan saat itu tangan Tuhan sungguh bekerja melalui teman saya. Walaupun agak keteteran akhirnya sayapun dapat menyelesaikan kuliah. Entah apa yang akan terjadi kalau saat itu tidak ada sahabat saya yang mengajarkan saya untuk bisa membuat prioritas. (Retno Ambar R.)

Business Wisdom:
Persahabatan adalah benang emas yang mempersatukan hati sanubari seluruh dunia. (John Evelyn)

Ada Busung Lapar di Kolam Susu

TUHAN senang kepada orang yang takut akan Dia, kepada orang yang berharap akan kasih setia-Nya. (Mazmur 147:11)

Juni lalu kasus busung lapar terkuak. Dan, ibarat wabah, kasus itu muncul di mana-mana. Mula-mula kasus itu ditemukan di sebuah kampung nelayan di propinsi NTB. Kemudian merambat ke hampir seluruh daerah di NTT.
Lalu, terbetik kabar bahwa kasus serupa ada pula di daerah Lampung, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, dan Papua. Juga, di kawasan DKI Jakarta. ya, kalau mau diungkapkan secara lebih jujur, kasus itu sudah merembes ke seluruh wilayah Indonesia.
Sungguh ironis, kasus busung lapar terjadi di negara kita, yang dikenal kaya raya. Begitu kaya-rayanya, sampai-sampai grup band Koes Plus mengibaratkannya sebagai ’kolam susu’, ’tanah surga’. Lho, kok ada orang yang menderita busung lapar di kolam susu? Bagaimana mungkin ada orang kurang gizi di negeri di mana ikan dan udang datang menghampiri? Ah, pasti ada yang tak beres dengan orang-orang yang mendiami negeri ini.
Memang, kasus busung lapar sudah diprediksi banyak orang kala negeri ini ditimpa krisis ekonomi berat pada tahun 1998-1999 lalu. Tapi, krisis ekonomi tak bisa dijadikan alasan. Soalnya, krisis serupa terjadi pula di negeri tetangga, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Mengapa krisis ekonomi di sana cepat pulih? Mengapa krisis di sana tak menimbulkan bencana busung lapar? Pasti ada yang tak beres dengan orang-orang yang menjadi pemimpin (politik, sosial, ekonoi, budaya) di negeri ini. Baik yang di tingkat nasional maupun di daerah, dan komunitas.
Tak beres apanya? Ya, macam-macam. Tak beres kecerdasan otaknya, sehingga mereka tak mampu berpikir untuk mencari strategi dan solusi terhadap krisis ekonomi. Tak beres watak dan hatinya, sehingga mereka tak merasa berdosa kala menilep sebagian dari anggaran yang seharusnya dipakai untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Tak beres perasaannya, sehingga mereka tak merasa malu sedikitpun punya perut gendut karena kelebihan gizi, sementara rakyatnya banyak yang buncit perutnya karena kekurangan gizi.
Jadi, kalau mau agar masalah busung lapar diselesaikan, bereskan dulu otak, hati dan perasaan para pemimpinnya. Jika tidak, busung lapar akan kembali terjadi, mungkin dengan wujud yang lain.
Kalau demikian situasinya, Tuhan itu berada di pihak siapa, ya?

Business Wisdom:
Kepemimpinan adalah gabungan strategi dan watak. Jika Anda harus memilih salah satu, silahkan memilih watak. (H. Norman Schwarzkope)

Guru & ‘Batu Besar’

Tetapi carilah kerajaan-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu. (Lukas 12:31)

Saya pernah membaca sebuah kisah yang secara ringkas bisa digambar sbb: Seorang guru memperlihatkan sebuah beberapa kantong. Kantong pertama berisikan batu-batu besar. Kantong kedua berisikan kerikil. Dan kantong ketiga berisi pasir. Ia berniat memindahkan isi ketiga kantong itu ke sebuah ember kosong. Mula-mula ia mengisi ember itu dengan batu besar dari kantong pertama. Setelah mengisi ember itu penuh dengan batu-batu besar, ia bertanya kepada para muridnya. Dan, semua murid serempak menjawab, “ya sudah penuh!”
Tapi guru itu menjawab, “Ah, kalian keliru. Cobalah ambil kerikil dari kantong kedua. Isilah ke dalam ember itu. Masih ada tempat yang belum terisi bukan? Setelah ember itu penuh dengan batu besar dan kerikil, sang guru bertanya lagi. “Apakah ember itu sudah penuh? Para murid yang mulai sedikit lebih bjiksana menjawab, “belum.” Ada yang menjawab, ‘sudah.” Tapi ada juga yang bersikap ragu-ragu.
Kemudian, sang guru mengambil kantong ketiga yang berisi pasir. Ia menuangkan pasir itu ke dalam ember, menggocang-goncangkannya, dan menuangkan pasir itu hingga ember itu penuh. Setelah itu sang guru bertanya lagi, apakah sekarang ember sudah penuh? “Semua menjawab, ‘ya sudah penuh’. Sang guru pun menjawab murid-muridnya, “Sekarang kalian benar!”
Kisah di atas memberi pesan bahwa ‘batu besar’ memang harus diutamakan. Kebenaran yang sama berlaku pula dalam pembicaraan soal prioritas. Batu besar kita mesti dicatat lebih dahulu dalam kalender kehidupan kita. Jika kita lebih dahulu memasukan ‘pasir kita’ maka hampir dapat dipastikan ‘batu besar’ kita tak akan tertulis dalam kalender kehidupan kita.
Tapi, pertanyaan sekarang, "apakah yang mesti menjadi ‘batu besar’ kita? Tentu, setiap orang punya daftar batu besar yang berbeda. Namun, secara pribadi saya berpendapat bahwa urutan mestinya mengalir dari yang terbesar ialah ‘iman’, keluarga, martabat diri, relasi sosial dan lingkungan.
Iman mesti menjadi prioritas utama karena Allah adalah sumber dari kehidupan kita. Dia menciptakan, memelihara dan menyelematkan kita.

Business Wisdom:
Dahulukan Tuhan, bahagia kemudian.(Magareth Fishback Powers)

Richie

Kalau kamu bertahan kamu akan memperoleh hidupmu. (Lukas 21:19)

Ini sebuah kisah nyata tentang Richie, profesional tengah usia, dari kota New York. Dalam sebuah seminar di kota New York awal Juni lalu, nama Richie tiba-tiba melambung. Ia disebut-sebut sebagai ‘model terbaik’ dalam urusan goal setting. Mengapa? Pada awal Mei, Richie membuat sebuah perencanaan dan goal setting untuk masa 20 tahun ke depan. Padahal, enam pekan sebelumnya dokter telah memastikan bahwa Richie mengidap kanker otak, dan secara medis tak mungkin bertahan hidup lebih dari tiga bulan.
Richie ternyata meninggal lebih cepat dari yang diperkirakan para dokter. Tepatnya, sepekan sebelum ia terpilih menjadi ‘model’. Tapi, ia telah mewariskan sebuah kebijakan hidup yang amat tinggi nilainya.Yakni setiap kita tak pernah boleh berputus asa apalagi menyerah pada persoalan hidup. Kita harus terus berharap.
Sesungguhnya tak mudah untuk bertumbuh menjadi orang yang selalu berpengharapan. Apalagi dalam situasi hidup yang amat kritis. Sayangnya tak ada ‘sekolah’ yang khusus mendidik kita untuk menjadi insan yang optimis.
Namun, janganlah kita berkecil hati. Pasalnya, Kitab Suci kita menawarkan begitu banyak figur yang patut dijadikan contoh untuk selalu berharap. Salah satu di antaranya ialah Nabi Musa. Ketika Musa berdiri di gunung Nebo, ia menyadari bahwa ajalnya kian mendekat. Artinya, ia sendiri tak akan pernah menginjakan kakinya di tanah yang dijanjikan Allah.
Bagaimanakah syaratnya agar bisa menjadi seorang yang tetap berpengharapan seperti Richie dan Nabi Musa? Mengacu ke Kitab Suci, syarat untuk meneladani Richie dan Nabi Musa bisa disarikan menjadi dua. Pertama, mengimani atau percaya kepada Allah dengan segenap jiwa dan raga. Sebab Allah adalah pribadi yang tak pernah ingkar janji.
Kedua, menyadari bahwa kita sungguh-sungguh dikasihi Allah, sebagai anak-anakNya sendiri. Kita diciptakan, dipelihara dan ditebus dari segala dosa melalui darah Yesus Kristus, PutraNya.

Business Wisdom:
Pikiran ibarat parasut – tak akan bekerja bila tidak terbuka. (Anonim)

Kuatir Akan Masa Depan? Ah, Jangan!

Janganlah kuatir akan hidupmu, akan apa yang hendak kamu makan janganlah kuatir pula akan tubuhmu, akan apa yang hendak kamu pakai. (Matius 6:25a)

Masa hidup kita terdiri atas tiga bagian. Masa lampau, masa kini dan masa depan. Makna dan konsekuensinya bagi kehidupan kita amat tergantung bagaimana kita memandang dan memahaminya.. Tentang masa lampau misalnya, jika seseorang tak memandangnya sebagai sebuah pengalaman, maka ia akan menjadi sesuatu yang mencederai masa kini. Banyak kali kenangan kita akan peristiwa di masa lampau dan segala sesuatu yang muncul dari kejadian tersebut tampak amat relevan dengan kehidupan kita masa kini, sekali pun masa kini amat berbeda dari masa lampau.
Jika kita memperlakukan masa kini seperti masa lalu, maka besar kemungkinan kita sedang bertindak keliru. Setiap masalah, tantangan danm situasi masa kini menuntut suatu cara pandang dan pendekatan dan olus yang baru. Jadi, kita boleh memakai pengalaman masa lampau sebagai bahan pertimbangan, tapi solusi untuk persoalan masa kini tetap sesuatu yang berbeda.
Bagaimana dengan masa depan? Ah, itu masa yang belum riil. Salah satu rintangan besar untuk menjalankan hidup secara benar ialah menghabiskan banyak waktu untuk membayangkan dan mencemaskan masa depan.
Banyak orang –termasuk dari kalangan profesional dan businessman- yang begitu mengkuatirkan masa depan sampai-sampai kehilangan sebagian besar energinya untuk menjalani masa kini. Biasanya, ketika memulai suatu bisnis seseorang dibayang-bayangi oleh pertanyaan-pertanyaan sbb: Bagaimana kalau saya gagal? Bagaimana kalau produk atau jasa yang saya hasilkan tak diterima pasar? Atau, bagaimana tak ada kostumer? Bagaimana kalau produk saya tak laku dijual? Dan, bagaimana kalau nanti tak ada pendapatan? Dan, bagaimana jika modal usahaku tak bisa kembali?
Ya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu boleh dipertimbangkan sebagai ‘warning’. Tapi, itu tak boleh membuat kita menyerah. Sebab, pada prinsipnya masalah-masalah seperti itu dapat diatasi bila kita merintis bisnisnya dengan suatu visi yang jelas.
Lebih dari itu, sebagai orang Kristiani, kita memang tak punya alasan untuk mengkuatirkan masa depan. Ingat, Tuhan Yesus pernah berkata bahwa setiap kita amat berharga di mata Bapa di surga. Dan, Ia berjanji untuk tak membiarkan sehelai rambut kita jatuh tanpa pengawasanNya. Nah, masih takutkah Anda akan masa depan? Ah, jangan!

Business Wisdom:
Belajarlah dari masa lampau, berencanalah untuk maa depan, dan jalanilah masa kini dengan sungguh-sung! (Duane Alan Hahn)

Tuesday, May 02, 2006

Nestor Sulpico

Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, suapa ia dapat membagikan sesuatu kepada orang lain yang berkekurangan. (Efesus 4:28)

Kejujuran, merupakan sikap batin dan kebajikan hidup yang amat mulia lagi maha penting. Kalau direnungkan, sebetulnya banyak sekali kemelut dan krisis yang terjadi di masyarakat kita, muncul justru karena orang tidak berlaku jujur. Contoh paling aktual ialah apa yang terjadi dengan bangsa kita dalam beberapa tahun terakhir. Kita terpuruk dalam krisis multidemensional yang amat parah karena kita sebagai bangsa, terutama elit politik, bisnis dan militer tidak berlaku jujur. Harta dan kekayaan yang semestinya menjadi milik bersama atau milik negara, diembat lalu masuk kantong pribadi, kelompok atau perusahaan sendiri.
Memang, untuk berlaku jujur itu perlu kemauan. Pada Kamis, 19 Agustus lalu, harian Kompas mengutip sebuah berita pendek yang amat bernilai yang dilansir oleh insan pers di Manila, Filipina. Berita itu berbunyi sbb: “Nestor Sulpico (47), sopir taksi warga Amerika Serikat keturunan Filipina. Ia mendadak terkenal. Pada hari Rabu (18/8) Pemerintah Filipina memberikan penghargaan kepadanya. Sebelumnya, ia mendapat pujian dari pemerintah kota New York. Mengapa?
Nestor ternyata memperlihatkan sikap jujur yang luar biasa. Pada 16 Juli silam, seorang penumpang menumpang pada taksinya. Ketika turun, penumpang itu lupa menurunkan tasnya. Setelah berpisah dengan sang penumpang beberapa lama, Nestor menyadari kalau penumpangnya lupa menurunkan tasnya. Nestor memeriksa isi tas tersebut. Ternyata tas tersebut berisikan antara lain perhiasan mutiara hitam seharga 78.000 dollar AS, setara dengan Rp 700 juta lebih. Nestor menceritakan bagaiman ia sempat tergoda untuk mengambil dan menjual mutiara hitam manis itu dan memakai hasilnya untuk membayar uang setoran taksi sebesar 80 dollar AS per hari. Namun, hati nuraninya berhasil menampik godaan tersebut, dan ia memutuskan untuk mengembalikan saja tas itu kepada pemiliknya.
Mendengar kesaksian Nestor, Menteri Pariwisata Filipina Roberto Pagdangan mengimbau rakyat Filipina agar meneladani kejujuran Nestor. “Siapa pun pasti tergiur untuk memiliki mutiara hitam yang mahal itu. Namun kebajikan Nestor membuktikan bahwa ia bukan seorang laki-laki biasa,” katanya.
Pemerintah Filipina memberikan penghargaan kepada Nestor yang sudah 15 tahun menjadi warga AS, berupa tiket penerbangan New York-Manila pulang pergi.
Tak dapat diragukan lagi, melalui perbuatan tersebut, Nestor telah memberikan kesaksian iman yang amat efektif bagi warga dunia. Bahwa, siapa pun tak boleh mengambil apa yang bukan miliknya sebagaimana difirmankan Tuhan melalui Musa.

Business Wisdom:
Saya senang kepada Plato, tapi saya lebih senang kepada kebenaran. (Pepatah Latin)

Jangan Curang!

Dan janganlah kamu mendukakan Roh Kudus Allah yang telah memeteraikan kamu menjelang hari penyelamatan. (Efesus 4:30)

Hidup sesuai dengan bisikan hati nurani memang tidak mudah. Apalagi dalam konteks berbisnis. Godaan untuk melakukan kecurangan demi profit yang besar amat sering muncul.
Memang, jika kita amat ada begitu banyak orang yang dapat mengatasi godaan, tapi tak sedikit pula yang gagal menolak godaan itu.
Salah satu murid Tuhan yang mencoba berbisnis sambil berpedoman pada hati nurani ialah Ellen Theresia. Bersama suamnya Harianto Setiadinata, sejak tahun 1978, Ellen merintis bisnis Water & Waste Treatment Specialist.
“Ya …dulu, saya dan suami bekerja keras, bahu membahu membangun usaha ini dengan modal yang boleh dibilang amat minim. Karyawannya saja baru empat orang untuk administrasi. Saya sendiri memegang penjualan dan suami sebagai tenaga lapangan. Kami tidak memiliki gedung sendiri, makanya sering berpindah-pindah, seirama meningkatnya usaha ini”, katanya kepada Karunia Bisnis beberapa waktu lalu.
Kini, semua persoalan itu telah dilewati dan kondisi perusahaan terus bertumbuh menjadi lebih baik. “Sekarang perusahaan kami bergerak di beberapa bidang. Selain di bidang Water & Waste Treatment Specialist, kami pun bergerak di bidang Industrial Cleaning Chemicals, dan Water Storage System Specialist.
Menurut Ellen, buah dari berbisnis dengan berpedomankan hati nurani ialah bisnis ialah rasa kepuasan bathin yang terkirakan di samping usaha yang terus maju. “Sekarang kami sudah menetap karena memiliki gedung kantor sendiri (lima lantai) dengan ruangannya yang lebih banyak dan lega. Jumlah karyawan pun sudah bertambah hingga lebih dari 100 orang karyawan/i untuk kantor yang di Jakarta. Belum terhitung karyawan di lima kantor cabang yaitu di Bandung, Solo, Surabaya, Medan, dan Batam”.
Ellen bersaksi bahwa dalam menjalankan roda bisnisnya dia selalu berpegang pada sejumlah prinsip dan nilai yang sesuai bisikan hati nurani. Yaitu, berbisnis dengan ulet, bekerja keras dan jujur.
Ellen pun mengatakan, “godaan-godaan untuk melakukan kecurangan dan penipuan itu pasti ada. Tapi, untuk apa sih?”
Praktik bisnis yang dijalani Ellen amat sesuai dengan pesan Kitab Suci. Sebab, dari Kitab Suci kita semua tahu bahwa Tuhan mengundang setiap kita untuk selalu hidup dalam kebenaran sebagaimana yang pernah dijalani Yesus yang adalah saudara sulung dan guru kita.

Business Wisdom:
Kita tahu apa itu keadilan itu bila kita telah merasakan luka-luka ketidakadilan. (Aristoteles).

“Built to Last”

Sebab kamu tahu, bhwa dalam persekutuan dengan Tuhan jerih payahmu tidak sia-sia. (1 Korintus 15:58b)

Membaca literatur bisnis, baik yang klasik maupun yang populer, banyak sekali faedahnya. Paling tidak, memori kita dirangsang untuk mengingat kembali, memahami atau pun menyeleksi apa yang bisa diterapkan untuk berbisnis. Dengan kata lain, aktivitas membaca literatur yang bermutu merupakan model penggalian inspirasi yang efektif, murah, lagi sehat.
Salah satu buku bisnis yang kaya ide ialah "Built to Last: Successful Habits of Visionary Companies," buah pena James C. Collins dan Jerry I. Porras. Buku yang dipublikasikan pertama kali tahun 1994, memang laris manis sehingga direvisi dan dicetak ulang beberapa kali.
Mengapa "Built to Last" laris manis? Alasan yag paling kuat yakni karena, James C. Collins dan Jerry I. Porras menulis tentang perusahaan-perusahan beken di Amerika Serikat (AS) yang punya visi ke depan. Mereka mengupas tuntas soal langkah-langkah untuk ‘menjadi perusahaan yang visioner’ (being a visionary company).
Collines dan Porras pun menyingkapkan rahasia mengapa sejumlah perusahaan AS mencapai usia panjang. Mereka juga mengungkapkan betapa perusahaan-perusahaan itu dikagumi oleh para pendukungnya. Juga soal betapa para konsumen begitu loyal pada produknya, dan bagaimana perusahan-perusahan tersebut mampu bersaing di pentas global.
Bertolak dari riset yang mendalam, kedua penulis itu menyimpulkan, sebuah perusahaan akan dapat bersaing secara global bila manajer dan seluruh stafnya suka berkerja keras, berdedikasi, dan berkomitmen untuk meraih perningkatkan kinerja, serta ter us-menerus melakukan inovasi produk sehingga mampu menjawabi kebutuhan konsumen di masa depan.
Namun Collins dan Porras berhasil mengidentifikasikan dua karakater utama yang mendorong terciptanya perusahaan yang visioner. Yakni bahwa perusahaan memiliki, pertama, apa yang disebut sebagai core ideology. Ideologi inti itu terdiri atas nilai-nilai utama (core values), dan sebuah tujuan utama yaitu menghasilkan uang. Perubahan waktu dan perubahan strategi hendaknya tidak boleh mengubah idiologi inti tersebut. Kedua, visi yang jauh ke depan dan tujuan yang jelas, dan selalu tergerak untuk mewujudkan visi dan tujuan tersebut.
Kitab Suci amat sering berbicara mengenai visi ke masa depan dan idiologi inti Kristiani yaitu hidup bersekutu dalam persekutuan abadi dengan Allah, Bapa di surga. Pesan utamanya, setiap umat Krisitani mesti selalu mempersatukan diri dengan Tuhan, agar dapat mengalami kepenuhan hidup atau hidup abadi bersama Allah di surga.

Business Wisdom:
Kapal yang berlayar tanpa tujuan, tak akan pernah sampai di mana pun. (Anonim)

Doa Yesus

Siapa mengejar kebenaran dan kasih akan memperoleh kehidupan, kebenaran dan kehormatan. (Amsal 21: 21)

Tetapi perhiasanmu ialah manusia batiniah yang tersembunyi dengan perhiasan yang tidak binasa yang berasal dari roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah (1 Petrus 3: 4)

Karir atau pun bisnis Anda bisa terkulai dan hancur berantakan karena suatu gesekan atau salah paham dengan rekan kerja atau mitra bisnis. Dalam situasi sulit seperti itu Anda sesungguhnya membutuhkan dukungan emosional (emostional support). Tapi, bagaimanakah caranya? .
Menurut spiritualis Henry J. M. Nouwen cara paling efektif untuk mendapat dukungan emosional dalam situasi paling sulit yaitu menemukan anggota keluarga, seorang sahabat atau pun sekelompok teman yang sungguh dapat Anda percayai. Kepadanya, hendaknya Anda secara jujur men-share-kan harapan, mimpi, kecemasan bahkan ketakutan Anda.
Namun, tambah Nouwen pula, tak jarang anggota keluarga atau sahabat Anda sedang bergulat dengan perubahan sebagaimana Anda alami, sehingga tak dapat memberikan dukungan emosional seperti yang Anda butuhkan. Dalam situasi demikian Anda sebaiknya menemui seorang konsultan yang menaruh perhatian secara profesional pada masalah perkembangan kepribadian. Dan, apabila Anda ternyata merasa kurang sreg dengan konsultan, maka cara terbaik yang dapat Anda tempuh ialah mengikuti workshop atau ikut dalam sebuah kelompok pendukung atau menciptakan sebuah kelompok pendukung sendiri.
Tapi, katanya lagi, dua langkah di atas sebaiknya hanya menjadi pelengkap. Langkah yang paling utama ialah bermeditasi, menemukan dan mengikuti dorongan energi atau petunjuk yang muncul dalam diri sendiri.
Agar inner guidance menjadi lebih efektif maka Anda mesti melibatkan Tuhan Yesus. Salah bentuk latihan yang dapat dipakai ialah duduk bersila atau berbaring dalam posisi yang nyaman. Tutuplah matamu. Tarik dan hembuskan napas dan biarkan pikiranmu tenang, rileks sembari menyebut nama Yesus. Tariklah napas yang dalam dan sebutlah: Yesus, Yesus, Yeee… tahan beberapa lama, lalu hembuskannya lagi secara perlahan-lahan dan sebutlah sussss…. Lakukanlah ini berulang-ulang, sehingga Anda merasakan bahwa Anda bernapas dalam dan bersama Yesus. Inilah doa paling sederhana yang dapat menjadi sumber kekuatan bagimu dalam menjalani hidup, terutama pada saat yang sulit.

Business Wisdom:
Emas menembus masuk semua pintu kecuali pintu surga. (Anonim)