Wednesday, May 03, 2006

Cerai

Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang menceraikan isterinya kecuali karena zinah, ia menjadikan isterinya berzinah; dan barangsiapa kawin dengan perempuan yang diceraikan, ia berbuat zinah! (Mateus 5:31)

Paul Glick dalam Journal of Social Issues edisi tahun 1979 meramalkan bahwa mulai tahun 1990-an, akan ada 30 persen anak di seluruh di dunia dengan usia kurang dari 18 tahun merupakan anak dari pasangan suami istri (pasutri) yang bercerai. Raman Glick tampaknya mulai menjadi kenyataan. Buktinya, di Indonesia belakangan ini makin banyak saja berita mengenai perceraian pasutri selebriti di TV, majalah dan tabloid entertain. Tapi, dalam kenyataan ‘virus’ kawin dan cerai tidak menyerang pasutri selebriti saja. Diam-diam, pasutri non selebs, tak terkecuali dari kalangan eksekutif bisnis, terkena virus sosial itu. Bahkan, tidak sedikit dari kalangan umat Katolik Roma yang mengharamkan perceraian suami-istri yang menikah menurut tata cara Gereja.
Mengapa gelombang perceraian begitu hebat? Jika kita menyimak berita di media massa, pada umumnya pasangan yang bercerai mengaku kalau perceraian itu terpaksa dilakukan karena keduanya merasa tidak cocok lagi. Ada perceraian yang disebabkan oleh pihak ketiga. Pokoknya, ada banyak sekali alasan. Tapi, kalau dicermati secara mendalam, akar persoalannya adalah cinta yang tidak tulus dan pengorbanan yang lemah. Dengan kata lain, karena kedua pihak ingat diri. Egois.
Kalau perceraian terjadi, yang menjadi korban utama tentu saja anak-anak. Tidak sedikit anak-anak korban perceraian yang menjadi frustrasi dan kehilangan orientasi hidup. Bahkan, banyak yang melarikan diri ke dunia kelam, seperti narkoba, pelacuran atau tindak kriminal lainnya.
Nah, bagaimanakah seandainya ada dari kaum kerabat kita yang gagal mempertahankan bahtera perkawinannya? Apa yang mesti kita lakukan untuk meringankan beban anak-anak mereka? Halaman Khusus Anak Muda Harian Kompas (25/4) memberikan sejumlah tips bagi anak-anak yang orangtuanya bercerai. Dari tips tersebut, dapat dirumuskan beberapa pedoman yang dapat dijadikan pegangan untuk membantu anak-anak korban perceraian. Pertama, kita perlu meyakinkan anak-anak itu bahwa perceraian orangtua bukanlah akhir dari segalanya. Perjuangan hidup dapat saja diteruskan, dan kebahagian serta sukses masih mungkin untuk diraih. Kedua, meski orangtua bercerai, hubungan darah orangtua-anak tidak pernah dapat diputuskan. Jadi, tak perlu ayah atau ibu dibenci. Relasi dengan keduanya mesti terus dipelihara, meski dalam pola dan suasana yang berbeda dari dengan hubungan anak dan orangtua dalam keuarga yang utuh. Ketiga, yakinkan anak-anak itu untuk tak perlu merasa malu dan kecil hati. Mereka mesti pula diyakinkan bahwa menjadi anak-anak yang ortunya bercerai bukanlah suatu kutukan atau aib. Tetaplah pada komitmen untuk menjalani hidup secara normal.

Business Wisdom:
Kekuarangan uang dan harta bukan maalah, tapi kekuarangan cinta itu masalah gawat. (Joanne Alexandra)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home